Jumat, 21 Januari 2011

Senyuman di Senja Terakhir


Senja itu indah. Kalimat itulah yang terus terpatri dalam benakku. Aku sangat menyukai senja. Karena senja itu indah…

Di sinilah aku sekarang. Menatap dalam diam ke arah jendela yang seolah dihiasi oleh pemandangan senja. Tak mengerti apakah harus senang atau sedih menatap senja. Senang karena aku masih bisa melihat senja, yang berarti Tuhan masih mengizinkan aku untuk bernafas. Sedih bila akhirnya ini adalah senja terakhir yang harus kupandangi.

Aku terus berharap masih ada senja-senja yang terus menantiku di hari esok. Rutinitas inilah yang kerap kulakukan bila senja datang menggantikan sore. Ada rasa tak sabar saat aku menunggu saat datangnya senja. Tak sabar untuk segera bercerita.

Menceritakan semua yang ingin kuceritakan. Bukan berarti aku tak memiliki siapa-siapa. Aku masih mempunyai orang tua yang sangat menyayangiku, meski rasa sayang mereka tertutupi oleh kesibukan mereka masing-masing. Aku tahu pekerjaan yang mereka lakoni merupakan salah satu pelarian dari kesedihan yang mereka rasakan selama ini.

Aku bisa merasakan aura duka itu. Mereka hanya menggunakan kesibukan mereka sebagai topeng, sebagai tempat bersembunyi dari semua yang harus mereka jalani. Padahal di balik semua itu hati mereka sangat rapuh. Bagaimana tidak rapuh bila suatu saat nanti mareka harus siap menerima kehilangan seorang anak. Dan statusku sebagai anak tunggal seolah ikut menggenapkan duka mereka. Karena apabila ‘saat itu’ telah datang, tak ada lagi yang menggantikanku sebagai anak mereka.

Aku masih termangu dalam diam. Ingatanku seolah menjemput memori masa laluku, saat di mana aku menganggap bahwa senja adalah hal biasa. Hanya sebuah fenomena alam. Saat di mana aku menghabiskan hariku bersama ayah dan bunda. Saat di mana senyuman dan tawa bukan sesuatu yang langka di antara kami. Saat di mana aku bisa melakukan semuanya sendiri. Ya, sendiri. Sampai ‘hari itu’ datang seolah meminta untuk kulalui..
Hari yang kelam. Hari yang senjanya tak begitu indah, karena ditutupi oleh mendung. Hari yang menurutku awal dari jalan menuju akhir hidupku.

Mendung di senja itu sudah menjelma menjadi hujan yang membasahi jalan yang kulalui bersama teman-temanku. Saat aku dan teman-temanku baru saja menghadiri reunian. Rasa rindu tak bisa terbendung saat bertemu teman lama. Tapi peristiwa naas itu seolah menjadi bagian dari kisah bahagiaku.
Bus yang aku tumpangi terbalik saat melalui jalan yang sangat licin. Separuh dari nyawa yang ikut di dalam bus, terbang dibawa angin yang berhembus di senja itu. Inikah akhir dari cerita rindu kami? Aku bingung, apakah harus bahagia atau menangis saat tahu aku menjadi salah seorang yang nyawanya terselamatkan.

Tentu saja dengan badan yang hampir remuk. Kepalaku tak sedikit mengeluarkan darah, yang mengalir bersama tetesan air hujan. Hanya itu yang kuingat. Yang kutahu semenjak saat itu, hidupku berubah. Kepala sering terasa pusing. Hidungku selalu mengeluarkan darah secara tiba-tiba. Dan aku semakin sering pingsan. Aku tak tau penyakit apa yang telah menyerangku.Yang jelas penyakit ini perlahan menghilangkan fungsi dari masing-masing organ tubuhku.

Matahari sudah benar-banar tenggelam di ufuk barat, menandakan senja sudah berakhir. Lamunanku terhenti saat mendengar suara bunda di balik pintu kamarku. Tanpa sadar tanganku menyapu pipiku yang basah. Ternyata aku menangis. Aku memang tak pernah kuasa membendung air mataku bila mengingat peristiwa itu.

“Masuk, Bun…” ucapku lirih. Suaraku bergetar.
Bunda tersenyum lembut kearahku, “Syafa, ayo kita makan malam. Ayah sudah menunggu di ruang makan.”

Aku hanya mengangguk. Bunda berjalan menujuku. Kemudian ia mulai mendorong kursi rodaku. Ya, inilah aku, Syafa Syaqila. Dengan usia 16 tahun 3 bulan lalu kakiku mendadak lumpuh. Aku mengira ini bagian dari penyakit aneh yang menyerangku. Beginilah aku sekarang. Hidupku bertumpu pada kursi roda yang sekarang kutumpangi. Aku takut penyakit ini terus menggerogotiku. Hingga akhirnya merenggut nyawaku.

Ternyata ayah memang sudah menungguku di meja makan. Lengkap dengan makan malam yang sudah terhidang di atasnya. Ayah menyambutku dengan senyuman yang sama lembutnya dengan bunda.
“Apa kabar kamu hari ini, sayang?” Tanya ayah sambil mengusap kepalaku, seolah-olah aku anak yang berusia 5 tahun.
“Baik Yah…” jawabku ragu. Ragu karena dengan kenyataan ini apakah hidupku bisa digolongkan baik.

Ayah hanya tersenyum getir mendengar jawabanku. Selanjutnya kami makan malam ditemani diam. Sampai akhirnya Ayah membuka topik pembicaraan yang mengingatkan aku bahwa lusa adalah hari ulang tahunku. Ayah berjanji akan merayakan ulang tahunku yang ke-17 tersebut.
Senang? Tentu saja aku senang. Tapi aku tidak mungkin lompat-lompat untukmenunjukkan rasa senangku. Aku hanya bisa tersenyum. Saat Ayah dengan antusiasnya menceritakan rencana-rencananya untuk ulang tahunku, tiba-tiba saja, sendok dan garpuku terhempas. Dan tanpa bisa kukontrol, kedua tanganku tiba-tiba terjatuh ke sisi kursi roda. Aku bingung dengan apa yang terjadi padaku. Begitupun dengan tatapan ayah dan bunda yang di tujukan padaku.
“Bun…” suaraku mulai bergetar hebat, mataku mulai memanas. Aku menangis.
Tanganku tiba-tiba tidak bisa kugerakkan. Aku melihat ayah dan bunda mulai cemas.
Kemudian gelap, aku pingsan.
***
Langit-langit kamar putih yang pertama kali kulihat saat aku tersadar dari pingsanku yang ntah sudah berapa lama. Bau obat yang menusuk hidung meyakinkanku bahwa aku berada di rumah sakit. Ayah, Bunda, orang pertama yang kulihat disekelilingku. Mata bunda terlihat sembab, menandakan ia baru saja menangis. Aku hanya tersenyum kepada mereka, seolah-olah meyakinkan bahwa aku tidak apa-apa.
Tapi rasa sakit itu tak bisa kupungkiri. Sakit yang bergejolak di dada ini seolah mendobrak senyumku menjadi sebuah air mata yang kini mengalir di pipiku.

Tapi dengan lirih aku tetap berkata, “Bunda? Syafa pasti sembuh kan, Bunda?”

Bunda yang mendengarkannya hanya mengangguk. Tapi anggukan menyiratkan ketidakpastian dengan apa yang ia rasakan. “Iya, saying. Kamu pasti sembuh kok. Makanya kamu harus kuat ya…” Ayah angkat bicara. Ada kelegaan yang luar biasa yang kurasakan, yang bisa dapat mengurangi rasa sakit di dadaku ini. Walau hanya sedikit.

“Ayah, nanti kalau Syafa udah sembuh, Syafa mau lihat senja ya, Yah?” Kini giliran ayah yang hanya bisa mengangguk mendengar pertanyaanku. “Ayah., Bunda, Syafa mau tidur dulu ya, Syafa ngantuk..” kataku dengan nada yang kubuat seceria mungkin. Bunda segera menyelimutiku dan mencium keningku.

Rasa sakit di dadaku memaksaku untuk bangun dari tidurku. Keringat dingin mulai mengalir dari seluruh tubuhku. Ya Tuhan, apa lagi yang kurasakan ini? Kenapa dadaku terasa begitu sakit? Apa kau akan membunuhku dengan menghentikan detak jantungku? Ayah dan bunda yang melihatku terbangun dengan nafas yang tersengal-sengal, mendekati tempat tidurku, “kamu kenapa sayang?” tanya ayah khawatir.

Bunda mengusap-ngusap kepalaku, sambil menenangkanku bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Aku hanya menggeleng. Badanku yang lemas menjadikan suaraku menjadi sangat pelan. “Peluk Syafa, Bunda! Syafa kedinginan.” Bunda segera memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan adanya rasa takut kehilangan di sana. “Bunda, Syafa boleh minta sesuatu, Bunda?”
“Boleh, sayang.“
“Syafa mau lihat senja, Bunda…”
“Sekarang?”

Aku mengangguk. Bunda mengalihkan pandangannya ke ayah. Ayah menatap jam di pergelangan tangannya, kemudian mengangguk. Lima belas menit kemudian aku sudah berada di pantai dekat rumah sakit. Aku tersenyum saat sampai di sana..

Senja yang begitu indah. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat senja. Ayah menurukanku dari gendongannya, ke kursi roda yang bunda dorong. Kami terdiam untuk waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya aku berkata,

“Ayah…bunda…maafin Syafa ya. Karena selama ini Syafa ga’ bisa jadi anak yang ayah dan bunda banggain. Cuma bisa nyusahin kalian.. Tapi karena itu juga Syafa harus bilang makasih. Karena kalian udah jadi orang tua yang nggak tergantikan. Bunda yang nggak pernah ngeluh ngerawat Syafa. Ayah yang selalu bisa buat Syafa tersenyum. Syafa senang waktu dengar kalian mau ngerayain ulang tahun Syafa. Seharusnya hari ini kita ada di rumah nyanyiin lagu ulang tahun buat Syafa. Tapi Syafa nggak bisa buat apa-apa kalau semuanya jadi kayak gini. Maafin Syafa..”

Bunda memelukku seperti di rumah sakit. Ayah yang sekarang ikut memelukku berkata, ”Nggak sayang…kamu nggak ngerepotin kok. Kamu udah buat kami bangga dengan jadi anak kami.”

“Makasih, Yah..” Andai saja tanganku ini bisa kugerakkan, pasti aku akan memeluk mereka lebih erat lagi. Tapi sayang, rasa sakit di dadaku tak juga berkurang, namun aku tak ingin menangis. Tak ingin membuat mereka menangis. “Bunda jangan nangis…”
“Bunda nggak nangis sayang. Bunda senang karena hari ini umur kamu udah 17 tahun. Berarti anak bunda udah besar”

Aku ikut tersenyum, “Bunda….Ayah…Syafa capek. Syafa tidur dulu ya…”
Ayah dan bunda melepas pelukannya. Kemudian menyelimuti dengan selimut yang mereka bawa. Sebenarnya ada rasa takut saat aku ingin menutup mata ini. Takut aku tidak akan terbangun lagi nantinya. Tapi aku yakin, Tuhan sudah menggariskan hidup manusia sejak lahir. Aku harus terima jika hidupku harus berakhir di sini..Aku menutup mataku dengan tenang. “Selamat tinggal Ayah, Bunda. Selamat tinggal dunia..Selamat tinggal senja….”***

Selasa, 11 Januari 2011

Aku Menangis di Kuburanmu


Suara kicau burung mulai membangunkan Khairul di pagi dingin di hari minggu. Setelah mencuci mukanya dengan air sejuk kemudian ia membuat secangkir kopi hangat untuk menemaninya membaca harian pagi edisi minggu. Seperti biasa ia selalu mencari beberapa pekerjaan di kolom lowongan kerja. Khairul yang akrab dipanggil Irul ini tidak memiliki pekerjaan tetap, dia hanya seorang penulis kecil untuk harian pagi. Ketika ia memiliki atau membuat sebuah tulisan yang bagus maka akan ia kirimkan ke redaksi harian pagi itu dan mendapatkan upah yang sesuai dengan karyanya.

Pada malam minggu terkadang Irul mengunjungi pacarnya Imel yang tinggal di Perumahan Karyawan yang tidak jauh dari rumahnya. Imel memang termasuk keluarga yang berada, berbeda dengan Irul yang hidup dalam kesederhanaan. Namun orang tua Imel tidak melarang hubungan mereka. Meski dari keluarga yang berada, tapi Imel tidak memilih-milih teman. Karena itu Khairul sangat menyayanginya dan rela melakukan apa saja agar pacarnya tersebut bahagia.

Malam hari tiba, waktunya untuk makan malam bersama antara mereka berdua. Namun saat makan malam berlangsung, hidung Imel mengeluarkan tetesan darah kental. Saat itu Irul khawatir namun Imel hanya bilang kalau itu mimisan biasa. Mendengar itu kekhawatiran Irul berkurang. Suatu minggu pagi mereka berjalan di taman kota namun tiba-tiba Imel jatuh pingsan, saat itu ia langsung dibawa Irul ke rumah sakit terdekat. Setelah diperiksa oleh Dokter yang bersangkutan Imel divonis menderita kanker otak. Hal itu diberitahukan oleh Dokter ke Imel. dan dikatakan bahwa umurnya tidak akan lama lagi. “Dok, saya harap dokter tidak memberitahukan hal ini pada pacar saya yang sedang menunggu di depan. Karena saya tidak ingin dia bersedih,” pinta Imel pada Dokter tersebut.
Setelah Dokter keluar dari ruangan, “Gimana, dok, keadaan pacar saya?” tanya Irul.

“O…anda tenang saja. Pacar anda baik-baik saja. Hanya terkena anemia atau kekurangan darah. Makanya dia sering letih dan pingsan,” jawaban Dokter pada Irul.
“Lalu, bagaimana, dok?” tanya Irul lagi penasaran.

“Hm… tolong biarkan dia istirahat untuk beberapa hari ini dan jangan diganggu dulu ya…” saran Dokter pada Irul lalu masuk ke dalam ruangan.

Dokter meminta agar Imel tabah dan sabar serta banyak berdoa agar datang suatu keajaiban nanti dan segera diminta memberitahukan kepada kedua orang tuanya tentang penyakit yang sedang di deritanya tersebut. Dan juga untuk tidak berhenti berobat ke spesialis-spesialis kanker otak.
Akhirnya Irul mengantar Imel pulang kerumahnya dengan sepeda motor. Sampai di depan teras, Imel mengucapkan selamat malam pada Irul dan berpesan agar hati-hati di jalan, begitu pula dengan Irul yang berpesan agar Imel banyak beristirahat.

Pada Malam harinya setelah selesai makan malam bersama keluarga, Imel menceritakan yang terjadi terhadap dirinya kepada kedua orang-tuanya. Imel merupakan anak satu-satunya di keluarga tersebut, jadi wajar ia sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Mendengar apa yang disampaikan oleh anaknya tersebut kedua orang tuanya sangat sedih dan khawatir, dan segera berusaha bagaimana agar anaknya bisa cepat sembuh.

Sudah seminggu sejak pengobatan Imel yang tidak diketahui oleh Khairul. Bahkan ketika Irul menelpon untuk menanyakan keadaannya, pasti tidak pernah diangkat. Sms dari Irul tidak pernah dibalas. Sampai suatu hari Imel menelpon Khairul untuk datang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah Imel, Khairul dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Orang tua Imel memperhatikan dari atas tangga. Imel juga pernah berpesan pada orang tuanya untuk tidak memberitahukan penyakit yang dideritanya kepada Khairul sampai kapanpun.

Dengan wajah mulai pucat Imel meminta Khairul untuk mendengarkan ucapannya dengan serius. “Rul, aku minta kamu jauhi aku mulai saat ini…” pintanya dengan nada sedih.

“Kenapa,,,?” tanya khairul penasaran.
“Aku mau kuliah ke luar negeri. Orang tuaku ingin aku hidup dengan orang yang sukses. Aku harap kamu bisa berusaha keras dan kembali padaku dengan kesuksesan yang kamu raih…”

Mendengar hal itu Khairul merasa terpukul dengan keadaan dirinya. Setelah Irul pulang maka Imel menangis di dalam kamar dan orang tuanya ikut sedih melihat yang terjadi pada anaknya.

Setibanya di rumah, Irul selalu murung dan memikirkan ucapan-ucapan yang telah didengarnya dari Imel. Itu menjadi sebuah penyemangatnya setelah pisah dari Imel. Ia bertekad untuk berusaha dan menjadi orang yang sukses, setelah itu ia akan kembali untuk membuktikan pada orang tua Imel, kalau ia mampu untuk menjadi orang yang sukses.

Hampir setiap hari ia mencari pekerjaan, kebetulan Harian Pagi yang sering ia kirimi tulisan sedang mencari orang untuk menjadi wartawan tetap. Dimulainya karir menjadi seorang wartawan, karena kerjanya yang gigih dan memuaskan kemudian Irul diangkat menjadi pe-mimpin redaksi yang mengelola harian pagi tersebut. Namun ketertarikannya terhadap menulis tidak pudar, ia mulai membuat novel tentang kisah hidupnya yang ia angkat menjadi cerita yang menarik. Novel yang ia buat laku keras dan terkenal di seluruh nusantara bahkan sampai ke Malaysia. Novel tersebut juga sempat dibaca oleh Imel, ia senang Khairul sudah mulai sukses. Kini Irul tidak lagi bekerja di harian pagi seperti biasa, kini dia telah menjadi penulis terkenal dan kaya raya. Namun, apa yang telah ia raih kini tidak membuatnya lupa dari mana asalnya. Dia tidak sombong dan selalu membantu orang-orang yang kesusahan.

Pada hari minggu, seperti biasa Khairul pergi untuk berlibur pulang ke rumahnya di kampung, namun cuaca agak sedikit mendung, namun tak menjadi halangan karena ia membawa mobil. Ketika mobilnya lewat di depan rumah Imel, ia hanya mendapati rumah tersebut sudah disegel dan tak berpenghuni lagi. Kebetulan rumah lama Khairul berada di sekitar pemakaman umum, ia melihat kedua orang tua Imel berjalan kaki dengan baju yang kusam dan membawa sekeranjang bunga. Ia tidak membalas apa yang pernah dikatakan Imel dulu padanya. Ia bertanya mau ke mana kedua orang tua tersebut. Karena merasa kasihan pada Khairul kedua orang tua Imel pun melupakan janji mereka untuk tidak mengatakan keadaan anaknya yang sebenarnya.

Orangtua Imel bercerita bahwa Imel terkena kanker otak, dan sebenarnya ia tidak pergi kuliah keluar negeri tetapi untuk pergi berobat. Dia tidak ingin membuat Khairul sedih dan dia berpesan agar Khairul tetap semangat dan ia senang atas kesuksesan yang telah Khairul raih.

“Kami telah berusaha untuk kesembuhannya, seluruh harta kami jual agar anak kami bisa sembuh, tapi Tuhan berkehendak lain,” ucap orangtua Imel dengan sedih.

Setelah mendengar apa yang telah disampaikan orang tua tersebut, Irul jatuh lemas terdiam. Sejenak ia membayangkan wajah Imel tersenyum padanya, terbayang pula segala kisah yang pernah mereka lalui bersama. Kemudian Khairul meminta orang tua Imel untuk mengantarkannya ke kuburan Imel.

Di sana segunduk tanah dan batu nisan bertuliskan nama Imelda Melani. Khairul menatap foto yang ada di kuburan tersebut, foto yang tersenyum padanya. Meninggalkan kisah kasih yang pilu, membuat air mata Khairul jatuh untuk ke sekian kalinya, menangisi kepergian kekasih yang sangat ia cintai.***

Minggu, 09 Januari 2011

Senyuman Terindah dan Terakhir


Syla amila, itulah nama sahabat yang selalu hadir dalam kehidupanku. Aku sangat mengenal Syla, dialah sosok jiwa yang kukagumi. Ia selalu tegar menghadapi cobaan yang menerpanya. Se-nyumannya yang indah selalu bisa meluluhkan hatiku saat aku sedang menasehatinya. Nilai rapornya tidak pernah merah, dan dialah seorang yang dianugerahi kecerdasan oleh Al-Wahhab.

Namun, waktu untukku dapat menemuinya dalam keadaan sadar semakin berkurang. Penyakit berbahaya yang telah bertahun-tahun menyerangnya, membuat Syla lebih sering berada di ruang yang penuh dengan aroma obat-obatan dan Syla tidak lagi melakukan aktivitas yang biasa dilakukan anak seusiaku. Penyakit yang dialami Syla juga pernah dirasakan ibunya, yang telah lama berpulang ke rahmatullah.

Setelah beranjak pergi dari bangunan tempat proses pembelajaran, biasanya aku pulang bersama sahabatku, Syla, sekarang aku hanya sendiri menyusuri jalanan sepi.

Aku pulang ke rumah, mengganti baju, dan segera menuju ke supermarket, untuk membeli buah-buahan. “Cio…” terdengar sebuah suara menyapaku dari belakang. Saat aku berbalik, terlihat sesosok pria tinggi, berumur sekitar lima puluhan.
“Ehh… Om Anton, beli buah juga ya? Gimana keadaan Syla, apa dia udah sadar?” tanyaku bertubi-tubi.
“Iya, Oom beli buah juga untuk Syla. Alhamdullillah sekarang Syla udah sadar. Cio mau menjenguk Syla, ya?” jawab Om Anton sambil bertanya balik.
“Iya, Om.”

“Kalau gitu, bareng om aja. Oom juga mau ke rumah sakit,” tawar Om Anton.
“Iya Om, Cio ikut sama Om Anton.” jawabku.

Sebelum menuju ke rumah sakit, aku dan Om Anton menuju ke sebuah toko bunga hidup. Aku memilih tiga batang bunga anggrek putih, dan Om Anton memilih serangkaian bunga anggrek merah muda. Setelah membayar bunga yang dipilih, kami langsung menuju ke rumah sakit.

“Syla…” kataku sembari mendekapnya penuh kerinduan. Kesepianku terobati, bibirku yang tadinya datar karena nilai ulanganku yang di bawah standar, menjadi sebuah lengkungan atau tepatnya menjadi sebuah senyuman.

“Syl… kamu cepat sembuh ya. Aku rindu saat-saat bersama kamu beberapa tahun lalu. Sepi. Itulah yang aku rasakan selama ini, Syl…” kataku usai mendekapnya, dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kamu gak usah khawatir aku pasti sembuh, ya, kan, Pa?” jawabnya sambil tersenyum ramah, lalu menoleh kearah ayahnya.
Om Anton hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan anak semata wayangnya itu. Om Anton selalu terlihat sedih jika ia menatap Syla. Walaupun Syla berkata seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal yang sebenarnya selalu menyiksanya.

Hari berganti hari. Keadaan Syla seakan tak dapat diselamatkan. Darah yang keluar dari hidungnya semakin sering dan semakin banyak keluar dengan sia-sia. Hatiku makin perih, apalagi Om Anton, ia takut kehilangan gadis kecilnya yang akan genap berusia empat belas tahun.

***

Seperti biasanya, hari ini pun aku akan pergi ke rumah sakit. Huh… siang ini sang mentari bersinar dengan sesukanya, sepertinya ia tega membakar kulit makhluk hidup yang hanya berpayungkan langit.

Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Syla seperti makhluk yang tak berdaya, hidung, mulut, dan telinganya mengeluarkan darah yang tak hentinya mengalir. Dokter,dan perawat berusaha menghentikan darah yang mengalir. Hatiku getir. Tak kuasaku menahan tangisan ini, begitu juga dengan Om Anton yang tak hentinya memanjatkan doa ke hadirat Tuhan. Bibir Syla sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi sulit baginya untuk menggerakkannya, hanya menangis yang dapat Syla lakukan. Setelah itu kulihat senyuman terindah dari bibirnya.

Tak lama hal itu berlangsung, nafas, serta detak jantung Syla berhenti. Tuhan sudah berkehendak. Hal yang paling ditakuti Om Anton akhirnya terjadi. Langit yang berwarna cerah berubah kelabu, tetesan kristal berjatuhan dari langit.
“Sylaaaa…” teriakku berbarengan de-ngan guntur yang seakan ikut bersedih bersamaku, dan Om Anton. Syla telah menyusul ibunya. “Syla… selamat tinggal, suatu saat aku akan ke sana dan menemui-mu”.

***

Sabtu, empat belas Februari. Aku pergi ke toko bunga hidup, kali ini aku membeli serangkaian bunga anggrek. Lalu pergi ke TPU untuk berziarah ke makam sahabatku, Syla. Tidak sulit bagiku untuk mencari makam Syla, hanya beberapa meter dari gerbang TPU. Dari gerbang kulihat seseorang berada berada di makam Syla. Kuperhatikan orang itu. Beberapa saat kemudian, ia berdiri dan beranjak dari makam Syla.

Akupun melanjutkan perjalananku menuju makam Syla. Saat berpapasan ternyata orang itu adalah Om Anton. Ia menyapaku dan tersenyum, lalu ia bilang padaku bahwa Syla ada di sini. Aku terkejut, mungkin Om Anton hanya bercanda. Aku hanya tersenyum, dan berjalan menuju makam Syla.

Kuletakkan serangkaian bunga anggrek yang kubeli tadi di atas makam Syla. Aku mengucapkan selamat ulang tahun dan selamat hari kasih sayang pada Syla. Dan aku pandangi batu nisan tempat nama sahabatku diabadikan.

Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan di depanku atau lebih tepatnya seseorang. Wajahnya mirip dengan sahabatku, ia tersenyum padaku. Senyuman itu mengingatkanku pada senyuman terakhir Syla. Kubalas senyum itu, seketika ia menghilang.
Mungkinkah itu Syla….?***

 
Myspace Backgrounds